Satu lagi bukti bahwa kita tidak harus selalu percaya apa yang dikatakan oleh orang tua. Dulu, guru saya, guru ngaji saya, orang tua saya, sering bilang kalau budaya barat adalah budaya yang buruk dan merusak. “Hati-hati dengan produk budaya barat. Termasuk film barat,” kata mereka. Setelah saya dewasa, saya menonton produk budaya yang “buruk dan merusak” ini. Salah satunya adalah serial Sex and the City. Saya tidak tau dampak apa yang saya dapat dari mengikuti tontonan ini (selain kepingin jadi Manolo Blahnik sehingga dipuja perempuan). Tapi teman-teman cewek saya yang juga megikuti serial ini dengan setia jadi meningkat cita rasanya, dalam berpakaian, dalam berbicara, dan mereka juga kepingin jadi perempuan-perempuan independen seperti Carrie Bradshaw. Dengan cerita, akting, dan penggarapan yang bagus, serial ini telah menginspirasi banyak orang.
Terus terang, kebiasaan dicekoki tentang “bahaya” budaya barat ini membuat kita jadi tidak sadar bahwa produk budaya timur sering kali lebih berbahaya. Lebih buruk dan lebih merusak. Paling tidak merusak perfilman Indonesia. Lihat saja “film” Genderuwo. Kata “film” saya kasih tanda kutip karena bisa saja Genderuwo dianggap sebagai sebuah film, kalau kita mau. Tapi ini juga berarti kita harus menerima pendapat yang mengatakan bahwa jerawat adalah “makanan”. Bisa saja toh, dimakan? Kalau makan jerawat sekilo, kan bisa kenyang juga. Tapi pertanyaannya, how desperate are we? (Tuh, kan. Pake bahasa barat lagi).
Maaf, bukannya saya sengaja menyinggung SARA SECHAN (Suku Agama Ras Sex Citarasa Hanamasa dan Nationality. Mau dibilang garing terserah). Saya tahu saya tidak boleh membuat sebuah generalisasi. Tapi kenapa sih yang kebagian ke kita bukan orang-orang berbakat seperti Ruth Prawer Jhabvala atau Mira Nair? Kenapa kita hanya kebagian orang-orang seperti KK Dheeraj yang membuat Genderuwo?
KK Dheeraj adalah anti-tesis (ciiiah… pake bahasa keren sekali-sekali) dari dari banyak hal.
Kalau ada yang bilang budaya malu adalah budaya timur, orang ini menghancurkan anggapan itu. Di barat sana, kalau seorang sutradara tidak puas dan malu akan filmnya, dia boleh mengajukan permohonan untuk menghilangkan namanya dari film tersebut. Diciptakanlah nama palsu Alan Smithee untuk para sutradara yang tidak mau mengakui sebuah film adalah filmnya. KK Dheeraj bukannya malu dengan salah satu film terburuk (atau mungkin terburuk) dalam sejarah manusia, dia malah dengan bangga menambahkan kata “film horror yang berbeda dan bermutu” di poster filmnya. Padahal kenyataannya, tidak ada satupun kualitas yang bisa dilihat dari film ini yang bisa menghentikan orang waras dari bunuh diri setelah membuatnya. Kamera handphone Bik Jessika saja bisa menghasilkan gambar yang lebih bags dari gambar Genderuwo. Skenarionya seakan-akan bukan ditulis oleh manusia, tapi oleh hamster. Itu pun setelah hamsternya disiram air panas dan dipotong ekornya. Sadis ya? Tapi ya memang seburuk itu. Belum lagi artistik dan kostumnya. Oh my God. Hamster yang disiram air panas dan dipotong ekornya saja masih lebih enak dilihat ketimbang film ini.
KK Dheraj berpikir, bahwa penggambaran hantu terseram adalah dengan cara men-zoom-in dan men-zoom-out boneka jelek beberapa kali, lalu mengganti warna layar menjadi merah, biru, hijau, dan kuning, setiap kali boneka tadi di-zoom. Olala, orang ini luar biasa naif atau luar biasa kurang ajar?
Luar biasanya lagi, “film” ini seakan-akan diedit dengan menggunakan Power Point. Satu adegan hanya disyut satu shot. kalau butuh close-up, gambar tadi di-zoom di komputer. Gambarnya pun jadi kecil sekali pixel-nya sehingga ujung-ujung gambar berbentuk tangga. Persis kayak masking yang menutupi penis dan vagina di film-film blue Jepang.
Lupakan Psikopat yang membuat Sinema Indonesia menciptakan sistem rating kancut. Film ini membuat Psikopat terlihat seperti film The Godfather. Dan kami hampir saja membuat sistem rating tinja. Tapi paling tidak, film ini sudah menimbulkan rasa nasionalisme yang selama ini tidak pernah terpikirkan oleh kami. Dengan ini, kami sebagai bagian dari rakyat Indonesia menyatakan keberatan kalau ini disebut buatan Indonesia, dan menuntut film ini dicoret dari bagian dari sejarah perfilman Indonesia.